RAGAM LOMBOK - Petani kakao di Desa Bebidas, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur, menghadapi tantangan berat seiring anjloknya harga biji kakao kering dari Rp100.000 menjadi Rp40.000-Rp50.000 per kilogram.
Keterbatasan sumber daya manusia (SDM) dan peralatan pengolahan juga menjadi kendala utama dalam upaya meningkatkan nilai jual komoditas yang mereka panen setiap minggu ini.
Sanusi Ardi Wiranata, Ketua Kelompok Tani setempat, mengungkapkan bahwa saat ini petani hanya menjual biji kering secara konvensional kepada pengepul. Padahal, lahan kakao di desa tersebut mencapai 50 hektar lebih, dengan potensi besar untuk dikembangkan.
"Kami keterbatasan sumber daya manusia, selain itu saat ini kendalanya yang kami hadapi adalah kurang dalam peralatan. Terutama untuk pengolahannya," ujar Sanusi, saat ditemui di ladangnya, Minggu (19/10).
Bukan hanya itu, Menurut Sanusi penurunan drastis harga kakao ini dipengaruhi oleh perubahan iklim dan pasar global. Musim yang tidak menentu sangat berpengaruh terhadap kualitas biji kakao.
"Berdasarkan yang kita baca di media sosial itu ternyata perubahan iklim juga berdampak terhadap kualitas biji kakao. Selain itu pasar global juga berpengaruh terhadap anjloknya harga kakao di tingkat petani," jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa panen kakao berlangsung intensif, yakni setiap minggu, karena tanaman kakao di tempatnya tidak mengenal musim.
"Prospek kakao ini sangat menjanjikan, jika harganya bijinya diatas Rp100.000 per kilogram. Karena kita pengen itu setiap minggu," tutur Sanusi
Di tengah keterbatasan, Kelompok Tani ini telah menemukan celah pasar yang unik dan menjanjikan yakni agrowisata kakao. Dimana kebun seluas dua hektar lebih milik kelompoknya sering dikunjungi wisatawan asing dari berbagai negara yang tertarik dengan proses budidaya kakao.
"Pengembangan untuk potensi kakao ini sebenarnya bukan hanya soal penjualan bijinya tetapi bisa untuk agrowisata," kata Sanusi.
Promosi wisata ini dilakukan secara mandiri dan sederhana, hanya mengandalkan Google Map. Dalam satu pekan, kebun ini bisa menerima kunjungan dua hingga tiga kali dari rombongan maupun individu.
"Selama ini kami bukan hanya menjual bijinya saja, selain itu kami jadikan paket wisata untuk para wisatawan. Mereka sangat tertarik, karena berwisata sembari belajar tentang bagaimana cara memilih biji kakao yang baik, yang matang hingga proses pengolahan biji kakao menjadi minuman. Ya seperti kopi gitu, na itu yang kami ajarkan kepada mereka," terangnya.
Para wisatawan, yang kebetulan berilbur di Bali. Mereka rela datang jauh-jauh dari Bali hanya sekedar melihat pohon dan bijinya. Ini menunjukkan antusiasme yang tinggi bagi para wisatawan, mungkin saja tidak tersedia atau tidak ada di negara mereka.
"Mereka sangat antusias sekali melihat buah kakao yang warna warni begitu, karena di negara mereka mungkin tidak ada buah kakao atau mereka belum pernah melihanya. Yang dikenal itu kan coklat, padahal coklat itu bahan bakunya dari kakao," ujar Sanusi.
Untuk meningkatkan nilai tambah dan mengembangkan potensi agrowisata ini, Sanusi berharap adanya intervensi dari pemerintah daerah melalui program yang lebih terfokus.
"Kami harapkan adanya intervensi dan perhatian khusus dari pemerintah daerah untuk kaminpara petani kakao di Desa Bebidas ini. Seperti pelatihan-pelatihan cara pengolahan biji kakao, juga adanya support untuk peralatan dan sebagainya," ucap Sanusi penuh harap.
Saat ini, petani hanya mampu mengolah biji kakao menjadi minuman cokelat hangat untuk disajikan kepada tamu. Dukungan dari Dinas Pertanian selama ini sudah ada dalam bentuk bibit dan obat-obatan, namun mereka membutuhkan dukungan lebih lanjut dalam hal pengolahan dan pemasaran.
"Tidak cukup kami didukung dalam bentuk bibit dan obat-obatan saja. Yang kami inginkan saat dalam bentuk pelatihan-pelatihan yang lebih intensif begitu, bukan hanya pengolahan biji kakaonya," tutup Sanusi, sembari berharap kakao Lombok Timur bisa diolah menjadi produk bernilai jual tinggi dan menjadi daya tarik wisata yang berkelanjutan.